Fenomena Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus Meningkat
Font Terkecil
Font Terbesar
KASUS | JAKARTA — Meningkatnya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus dan masyarakat secara umum memunculkan keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi. Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, M.Si., menyampaikan pandangannya bahwa persoalan ini tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang pendidikan semata, melainkan berkaitan erat dengan faktor sosial, budaya, serta lemahnya sistem penanganan hukum yang ada.
Menurut Luluk, pelecehan seksual bisa terjadi di lingkungan manapun, termasuk dunia pendidikan, ketika seseorang memiliki peluang dan merasa tindakan tersebut tidak akan menimbulkan konsekuensi serius. “Kenapa bisa terjadi di dunia pendidikan, saya pikir karena faktor penyebabnya tidak mengacu pada pendidikan saja. Semuanya bisa terjadi kalau dia punya kesempatan untuk melakukan itu, apalagi didukung oleh sesuatu hal,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi perilaku menyimpang ini. Lingkungan pertemanan, tempat kerja, bahkan sistem nilai yang tumbuh di masyarakat bisa menjadi pemicu. Luluk menyoroti bagaimana budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia menciptakan ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan, sehingga seringkali melegitimasi perilaku pelecehan.
Dalam konteks akademik, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa juga dapat menjadi celah terjadinya pelecehan seksual. Ketika seorang dosen merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan tidak ada sistem yang menegakkan batasan etik dengan tegas, maka potensi penyalahgunaan kuasa semakin besar. “Dalam konsep patriarki, laki-laki sering merasa lebih superior dan bebas melakukan apapun tanpa rasa bersalah,” tambah Luluk.
Ia juga menyoroti peran media dan kurangnya edukasi berbasis nilai sebagai faktor lain yang memperparah kondisi. Konsumsi konten media yang tidak sehat, seperti pornografi, dapat membentuk pola pikir dan perilaku menyimpang. Disisi lain, ia menilai bahwa hukum yang mengatur tentang pelecehan seksual di Indonesia masih belum dijalankan secara maksimal. Hukuman yang ringan dan proses hukum yang rumit kerap membuat korban enggan melapor, sementara pelaku merasa aman dari sanksi sosial maupun hukum.
Dari sudut pandang sosiologi, Luluk menjelaskan bahwa pelecehan seksual yang terjadi secara berulang menunjukkan adanya pola dalam masyarakat, yang tidak terlepas dari lemahnya upaya preventif dan minimnya pendampingan korban. Selain itu, stigma terhadap korban juga masih kuat, sehingga banyak dari mereka memilih diam dan tidak mencari keadilan.
Terkait langkah preventif, Prodi Sosiologi FISIP UMM telah berupaya mengintegrasikan pendidikan nilai dalam kurikulumnya. Mata kuliah seperti AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) serta materi tentang Sistem Sosial dan Budaya Indonesia menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran moral dan empati terhadap sesama. Luluk menegaskan bahwa penanganan kasus pelecehan seksual memerlukan kolaborasi antara institusi pendidikan, mahasiswa, serta masyarakat secara luas.
“Kesadaran untuk saling menghormati, menjaga etika pergaulan, dan menolak segala bentuk kekerasan seksual harus terus ditanamkan sejak dini. Kita semua memiliki peran penting untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan beradab,” pungkasnya. (FRA)
